Page 153 - RENCANA INDUK GEOPARK BAYAH DOME
P. 153
8. Pemberdayaan dan Penguatan Kapasitas: Salah satu aspek penting dalam collaborative
governance adalah pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelatihan, pendidikan, dan
peningkatan kapasitas dalam mengelola geopark.
Melalui tahapan-tahapan ini, collaborative governance berfungsi sebagai alat untuk menciptakan
pengelolaan geopark yang efektif dan berkelanjutan, di mana semua pihak berperan aktif dalam
menjaga keseimbangan antara pelestarian alam dan pengembangan ekonomi.
Pengembangan Geopark Bayah Dome yang diinisiasi sejak 2019 telah mengakomodir
beberapa langkah kunci berdasarkan konsep collaborative governance. Mulai dari
mengidentifikasi pemangku kepentingan yang sejak awal dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak saat melakukan penyusunan kajian Warisan Geologi di Kabupaten Lebak, yang
mana hal ini tidak terlepas dari cukup beragamnya kepemilikan lahan pada tiap potensi situs
Warisan Geologi seperti Perum Perhutani, TNGHS, perusahaan swasta, masyarakat, dan
pemerintah itu sendiri. Para pemangku kepentingan yang teridentifikasi seringkali
diikutsertakan dalam forum-forum yang membahas pengembangan Geopark Bayah Dome
termasuk penyepakatan visi misi, perencanaan bersama, dan implementasi pengelolaan. Hal-hal
tersebut dibungkus dalam sebuah focus group discussion (FGD) dan konsultasi publik serta
beberapa kali tergabung dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Lebak sebagai tim bersama pada
urusan tertentu yang salah satunya SK Bupati Lebak Nomor: 050/Kep.297-
BAPELITBANGDA/2024 tentang Pembentukan Tim Penyusun Revisi Rencana Induk Geopark
Bayah Dome Kabupaten Lebak. Hanya saja ada beberapa hal yang memang belum dilakukan
secara maksimal seperti monev dan pengambilan keputusan bersama hingga pemberdayaan
maupun penguatan kapasitas yang dilakukan secara bersamaan, karena saat ini masih berjalan
pada ranahnya masing-masing.
Implementasi collaborative governance dalam pengelolaan geopark di Indonesia, pada
umumnya telah dilaksanaan oleh beberapa geopark, baik yang berstatus geopark UNESCO
maupun sebagai geopark Nasional. Hal ini sesuai dengan model pengembangan geopark adalah
dengan mengimplementasikan model Pentaheliks, dimana unsur pemerintah (pusat hingga
daerah), akademisi, swasta, masyarakat lokal, dan media berperan serta dalam
pengembangannya. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai aktifitas di geopark yang melakukan
kolaborasi dengan berbagai institusi, baik itu untuk program lokal, nasional, dan internsional,
termasuk pencapaian untuk penenuhan goals 17 SDGs. Contoh yang paling kongkrit dapat dilihat
adalah dari Struktur Badan Pengelola geopark, yang terdiri atas berbagai institusi, mulai dari
pemerintah daerah hingga masyarakat di sekitar geopark; contoh lain adalah kegiatan dalam
upaya memitigasi perubahan iklim, banyak dilakukan berbagai kegiatan konservasi yang
melibatkan banyak pihak, mulai pemerintah pusat, daerah, akademisi, serta pihak swasta dan
masyarakat umum/lokal, serta peran media. Kegiatan edukasi, juga merupakan contoh dari
collaborative governance, dimana berbagai pihak terlibat dalam menyelesaikan program ini. Dan
masih banyak lagi contoh implementasi ”collaborative governance” dalam pengelolaan geopark
Indonesia.
Sehingga dapat kita lihat, bahwa model pengembangan geopark dengan metode
”Collaborative Governance” ini memang sangat cocok untuk di implementasikan, dan beberapa
negara juga sudah mengikuti model ini dalam pengembangan geopark di negara mereka, karena
melihat contoh kasus yang baik di beberapa geopark Indonesia, yang saat ini telah memiliki 12
UNESCO Global Geopark, yang masuk dalam kelompok 6 besar jumlah geopark berstatus UNESCO.
128