Page 128 - Laporan Akhir- Kajian Keterkaitan Geo Bio Budaya
P. 128
Sajira atau Sajra merupakan sejarahnya masyarakat Adat Kasepuhan yang
kemudian pindah ke Limbang Kuning. Tidak ditemukan bukti sejarah pasti tentang
riwayat masa tersebut. Baru kemudian pada saat Pembentukan Kesatuan Adat
Banten Kidul pada tahun 1974, maka mulai tercatat bukti sejarah pasti tentang
kasepuhan. Pencetus Kesatuan Adat Banten Kidul tersebut adalah Kasepuhan
Cikaret, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, dan
Kasepuhan Bayah.
Setidaknya terdapat 4 (empat) versi toponimi Sajira (Ginandar, 2022). Namun
yang cukup menonjol adalah yang memiliki keterkaitan dengan sejarah dan
geneologi (keturunan) raja-raja. Dalam versi ini, lokasi Sajira pernah menjadi tempat
pelarian dan persembunyian Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya dan Syekh
Yusuf Al-Makassari, beserta sanak keluarga dari kalangan Kesultanan Banten.
Persembunyian dan pelarian ini dilakukan untuk menghindari kejaran kompeni
Belanda. Catatan sejarah mencatat bahwa pada tahun 1682, Sultan Ageng dipaksa
mundur dari daerah Tirtayasa karena perang saudara dengan Sultan Haji yang
didukung VOC. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian
ditahan di Batavia (Hilmi, 2018). Salah satu yang tertinggal dari rombongan ini
adalah Ratu Sajerah yang kemudian menetap dan diyakini sebagai cikal bakal nama
Sajira. Lebih jauh terdapat buku Silsilah Sajira yang menceritakan hal tersebut dan
buku tersebut tersimpan di Kasepuhan Sajira (Ginandar, 2022).
4.4.5.5 Toponim Geosite Cadas Kadatuan
Di wilayah Kecamatan Sajira juga terdapat sebuah Geosite yang dikenal
masyarakat dengan nama Cadas Kadatuan. Cerita yang berkembang di masyarakat
yang membuatnya menjadi terkenal adalah bagian sebelah atas Cadas Kadatuan
yang berbentuk seperti segitiga tidak pernah bisa terendam. Padahal Cadas
Kadatuan ini berada di aliran Sungai Ciberang, dan kemudian terjadi beberapa kali
banjir besar yang mengakibatkan tergenangnya perkampungan di sekitarnya.
Gambar 4.80 Cadas Kadatuan
120