Page 127 - Laporan Akhir- Kajian Keterkaitan Geo Bio Budaya
P. 127

Nyimas Kanjere. Pasangan ini adalah utusan/yang diserahi pusaka dari Kerajaan
                    Pakuan dengan amanat untuk mengurus perkampungan yang ada di Citando dan
                    sekitarnya. Kejadiannya terjadi pada jaman Baru Raksanagara dengan Nyi Buyut
                    Harudin sebagai penerus Angkawija. Pada saat itu posisi Nyi Darsih adalah sesepuh
                    di lokasi Cipanas Citando. Hal ini terjadi karena Nyi Darsih melakukan tapa di lokasi
                    ini. Sementara Siti Mu’mainah adalah putri semata wayang Nyi Darsih yang terkena
                    penyakit  kulit  parah  (kesrek)  yang  sulit  diobati.  Dalam  rangka  berupaya
                    mendapatkan pengobatan untuk anaknya inilah Nyi Darsih melakukan tapa.
                    Setelah  beberapa  lama  tapa,  Nyi  Darsih  mendapatkan  air  panas  yang  mengalir
                    sebesar  lidi.  Dengan  segera  disuruhnya  Siti  Mu’mainah  untuk  mandi  dan
                    membasahi seluruh tubuhnya dengan air panas tersebut. Tidak berselang lama, Siti
                    Mu’mainah sembuh dari penyakit kulitnya. Kecantikan memancar dengan sangat
                    luar biasa.

                    Melihat anaknya sudah sembuh, Nyi Darsih kemudian mengajak anaknya untuk
                    pulang  ke  kampung.  Dengan  kecantikannya,  maka  Siti  Mu’mainah  kemudian
                    dinikahkan dengan orang dari Gunung Karang, Pandeglang. Nyi Darsih kemudian
                    kembali lagi ke lokasi Cipanas Citandon hingga wafat dan dimakamkan di lokasi ini.
                    Saat  ini,  banyak  pengunjung  yang datang ke  lokasi  Cipanas  Citandon.  Sebagian
                    besar  diantaranya  bermaksud  untuk  berwisata,  sebagian  lainnya  datang  dengan
                    niat untuk berendam dan mengobati berbagai penyakit.


                    4.4.5.3 Toponim Gua Langir, Kecamatan Bayah

                          Gua Langir berada di pinggir pantai memberikan pemandangan yang indah
                    dan  suasana  yang  menentramkan.  Dari  situasi  dan  suasana  demikian  maka
                    kemudian salah satu versi menyatakan bahwa nama gua ini berasal dari nama Ki
                    Langir.  Tidak  ada  satu-pun  informan  yang  mengetahui  asal-usul  dari  Ki  Langir,
                    namun semua versi menyatakan bahwa Ki Langir pernah menempati Gua dengan
                    tujuan menyepi dan menghindari hiruk-pikuk dunia.
                          Versi lain menyatakan bahwa Langir diambil dari bahasa Sunda yang berarti
                    Kalajengking. Konon pada saat itu di lokasi gua ini banyak terdapat kalajengking.
                    Versi  selanjutnya  menceritakan  bahwa  Ki  Langir  adalah  seseorang  yang  cacat
                    karena  kakinya  pernah  patah.  Akibatnya  cara  dia  berjalan  seperti  langir  /
                    kalajengking.


                    4.4.5.4 Toponimi Kecamatan Sajira

                          Sajira adalah permukiman yang memiliki sejarah yang panjang. Nama Sajira
                    sebagai sebuah wilayah administrasi Distrik sudah tercatat dalam Staatsblad No.
                    81,  2  Desember  1828  yang  dikeluarkan  oleh  Menteri  Negara  (Minster  van  Staat)
                    (Ginandar,  2022).  Distrik  Sajira  pada  saat  itu  terdiri  dari  onderdistrik  Ciangsa,
                    Somang dan Sajira.
                          Dari  sisi  kesejarahan  versi  kasepuhan  maka  wewengkon  atau  Kasepuhan
                    Sajira  dianggap  sebagai  yang  tertua  di  antara  kasepuhan-kasepuhan  lain  di
                    komunitas Kasepuhan Adat Banten Kidul. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

                                                            119
   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132