Page 93 - Laporan Akhir- Kajian Keterkaitan Geo Bio Budaya
P. 93
4.3.1 Rangkasbitung
4.3.1.1. Toponim Rangkasbitung
Setidaknya terdapat dua versi cerita yang melatarbelakangi toponim
Rangkasbitung. Namun semuanya berdasar pada pembahasan Rangkasbitung
ditinjau dari segi bahasanya dalam hal ini bahasa Sunda yaitu Rangkas dan Bitung.
Rangkas dalam Bahasa Sunda biasa diartikan : Habis Tuntas, sementara Bitung
adalah awi atau bambu. Dalam versi pertama, daerah ini dinamai Rangkasbitung
karena merupakan tempat tumbuhnya pohon bambu yang banyak dan menjadi
pemasok bagi daerah lain. Dengan memanfaatkan jalur sungai, bambu-bambu hasil
tebangan ini dikirim dan diperjualbelikan. Proses pengambilan bambu hingga
tuntas inilah yang menyebabkan nama Rangkasbitung.
Versi kedua merupakan cerita legenda yang memiliki makna pelajaran untuk
tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari agama. Dikisahkan bahwa
dahulu kala tempat ini memiliki sebuah dapuran bambu yang sangat subur dengan
kualitas bambu yang bagus. Rumpun/dapuran bambu ini memberikan banyak
manfaat bagi penduduk yang ada di sekitarnya, berbagai kebutuhan penduduk bisa
dipenuhi oleh bambu. Mulai dari rangka untuk rumah, pagar, dinding bilik, lantai
palupuh. Perkakas rumah tangga anyam-anyaman, topi dll. Saking banyaknya
manfaat dari bambu dan suburnya rumpun bambu tersebut, masyarakat menjadi
mendewa-dewakan rumpun bambu tersebut. Berbagai upacara menyembah
rumpun bambu dilakukan dengan berbagai sesajennya. Pada saat kondisi
penduduk dalam “ketersesatan dan kegelapan” demikian, dikisahkan datang
seseorang yang berpengetahuan luas tentang agama (ulama). Ulama tersebut
kemudian men”dakwahi” penduduk bahwa hal yang mereka lakukan dengan
rumpun bambu tersebut suatu kesalahan dan harus ditinggalkan. Namun
penduduk tidak menghiraukan himbauan tersebut bahkan mengusir sang ulama
dari daerah mereka. Tak lama kemudian setelah penduduk mengusir sang ulama,
tiba-tiba wilayah ini diserang hujan-badai yang sangat luarbiasa besar dan dahsyat
yang menyebabkan rumpun bambu (bitung) yang disembah penduduk tersebut itu
hilang, terserabut tuntas tidak bersisa (rangkas). Namun dengan kejadian itu
penduduk kemudian menjadi sadar dan insyaf serta kembali menjalankan agama
dengan baik.
4.3.1.2. Museum Multatuli
Berawal dari novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker yang
menggunakan nama samaran Multatuli. Novel ini mendunia karena sangat kuat dan
inspiratif mengkritik sistem kolonialisme yang dilakukan pemerintahan kolonial di
Lebak, Rangkasbitung, Banten, terutama pada masa Sistem Tanam Paksa (1830-
1870). Mengambil setting cerita di Lebak, di dalam novel ini banyak pelajaran
penting tidak hanya romantisme Saidjah dan Adinda namun gagasan anti
kolonialisme, keberanian dalam menyampaikan kebenaran, serta kekuatan moral
untuk berempati dan memahami kemanusiaan yang sangat inspiratif terdapat di
dalamnya.
85